Berdasarkan Pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Peraturan mengenai putusnya perkawinan karena Perceraian dalam Undang-undang Perkawinan ini dapat ditemukan pada Pasal 39 ayat (1) Jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa:
Suatu perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Selanjutnya Pasal (2) menyebutkan bahwa:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak dapat rukun sebagai suami isteri.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin atau karena hal lain diluar kemauannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Bagi yang beragama Islam, ada 2 (dua) tambahan alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:
1. Suami melanggar taklik-talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dengan kata lain, hakim tidak akan mengabulkan gugatan cerai diluar alasan-alasan tersebut di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar