![]() |
Hak asuh anak dalam perceraian |
Dalam dunia hukum perkawinan, hak asuh anak adalah isu yang kompleks dan penuh pertimbangan. Di Indonesia, masalah ini diatur oleh berbagai regulasi, yang utamanya berfokus pada kemaslahatan dan kepentingan anak. Dalam artikel ini, kita akan merinci hak asuh anak sesuai dengan hukum Indonesia, dengan merujuk pada beberapa putusan penting dari Mahkamah Agung dan undang-undang yang relevan.
Prinsip Utama: Kemaslahatan dan Kepentingan Anak
Pertimbangan utama dalam masalah hak asuh anak adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata hak normatif. Hal ini dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 110 K/AG/2007 Tahun 2007. Dalam kasus di mana seorang anak belum berusia tujuh tahun dan ibunya sering bepergian ke luar negeri, sehingga tidak jelas dengan siapa anak tersebut harus tinggal, keputusan hak asuh anak dapat didasarkan pada apa yang paling baik untuk kemaslahatan anak. Misalnya, jika anak telah hidup dengan tenang bersama ayahnya, maka hak asuh anak dapat diserahkan kepada ayahnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa kemaslahatan dan kepentingan anak selalu menjadi faktor utama dalam penentuan hak asuh anak.
Ketentuan Hukum yang Mengatur Hak Asuh Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, hak asuh anak tidak diatur secara spesifik mengenai penentuan apakah hak asuh jatuh ke tangan ibu atau ayah. Namun, undang-undang ini menekankan bahwa baik ibu maupun bapak memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka, dengan pertimbangan kemaslahatan anak.
Pasal 41 a:
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
Pasal 41 b:
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
Jika terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak, Pengadilan dapat memberikan keputusan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105
Secara spesifik, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 ayat (a) mengatur bahwa pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun, atau yang disebut sebagai mumayyiz, menjadi hak ibunya. Ini menunjukkan bahwa anak di bawah usia 12 tahun secara otomatis jatuh ke tangan ibunya, kecuali terdapat bukti yang dapat merusak akhlak anak jika diasuh oleh ibunya.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 juga menegaskan pentingnya pemeliharaan oleh ibu kandung, terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Ini didasarkan pada prinsip bahwa kemaslahatan anak adalah kriterium utama dalam menentukan hak asuh anak. Namun, jika terbukti bahwa ibu tersebut tidak mampu atau tidak wajar dalam memelihara anaknya, maka hak asuh anak dapat berpindah kepada ayah.
Bukti-bukti yang Mempengaruhi Penentuan Hak Asuh Anak
Bukti-bukti yang dapat mempengaruhi penentuan hak asuh anak mencakup:
1. Penelantaran Anak:
Jika ibu atau ayah telah menelantarkan anak dengan tidak mengurusnya dengan baik atau menggunakan kekerasan terhadap anak.
2. Kebiasaan Buruk:
Jika ibu atau ayah memiliki kebiasaan buruk seperti judi, alkoholisme, atau penggunaan obat-obatan terlarang yang dapat membahayakan anak.
Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 354/Pdt.G/2007/PA.Bks, hak asuh anak diberikan kepada bapak dengan alasan-alasan berikut:
- Ketidakamanahan Ibu: Ibu tidak amanah dan tidak memiliki kemauan dalam mendidik anak-anak.
- Tidak Mampu Mendidik Anak: Ibu tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan, dan kenyamanan anak-anak.
- Tidak Mampu Menjaga Kemaslahatan Anak: Ibu tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.
Dalam kasus hak asuh anak, kemaslahatan dan kepentingan anak adalah faktor yang paling penting. Anak di bawah usia 12 tahun secara otomatis jatuh ke tangan ibunya, kecuali dapat dibuktikan bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya. Bukti-bukti seperti penelantaran anak atau kebiasaan buruk yang membahayakan anak dapat memengaruhi penentuan hak asuh anak. Pemahaman yang baik tentang ketentuan hukum ini penting untuk memastikan bahwa keputusan hak asuh anak dibuat dengan mempertimbangkan yang terbaik untuk kemaslahatan anak.
Advokat/Praktisi Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar