Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, telah terjadi perubahan signifikan dalam regulasi mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena alasan efisiensi.
Perubahan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Perppu Cipta Kerja sebagai undang-undang. Regulasi ini memperluas ruang bagi pemberi kerja untuk melakukan PHK, bahkan tanpa syarat perusahaan harus merugi terlebih dahulu, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 164 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Sebelumnya, PHK karena efisiensi hanya sah jika perusahaan:
- Mengalami kerugian selama dua tahun berturut-turut, atau- Tutup karena keadaan memaksa (force majeure), sebagaimana tertuang dalam Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan lama.
Namun, dengan hadirnya UU Cipta Kerja, perusahaan dapat melakukan PHK karena efisiensi untuk mencegah kerugian, bahkan sebelum kerugian itu benar-benar terjadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) PP 35 Tahun 2021:
"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian, maka Pekerja/Buruh berhak atas:
a. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); danc. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)."
Meskipun terdapat kelonggaran, PHK karena efisiensi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Penjelasan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021 secara eksplisit menyatakan bahwa:
“Efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian antara lain ditandai dengan adanya potensi penurunan produktivitas perusahaan atau penurunan laba yang berdampak pada operasional perusahaan.”
Dengan demikian, terdapat indikator objektif yang harus dibuktikan oleh perusahaan untuk melegitimasi tindakan PHK karena efisiensi, antara lain:
- Terjadi penurunan produktivitas, dan/atau
- Terjadi penurunan laba yang berdampak langsung terhadap operasional perusahaan.
Risiko Jika Efisiensi Tidak Dapat Dibuktikan
Jika perusahaan tidak dapat membuktikan adanya indikator tersebut di persidangan, dan tetap melakukan PHK dengan alasan efisiensi, maka alasan tersebut dapat dianggap sebagai:
- Alasan yang tidak berdasar (mengada-ada), dan/atauKonsekuensinya, perusahaan dapat dinyatakan melakukan PHK tanpa alasan yang sah secara hukum, dan pekerja yang diberhentikan berhak untuk menuntut pemenuhan hak-haknya, termasuk pemulihan hubungan kerja atau kompensasi tambahan berdasarkan putusan pengadilan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 memberikan fleksibilitas lebih bagi perusahaan dalam melakukan efisiensi, tetapi tetap mengharuskan pembuktian objektif atas kondisi yang menyebabkan efisiensi menjadi alasan PHK. Oleh karena itu, perusahaan wajib:
- Mendokumentasikan kondisi keuangan secara jelas,
- Melakukan analisis produktivitas dan dampaknya terhadap operasional, serta
- Melibatkan proses bipartit dan pencatatan mediasi jika diperlukan.
Langkah hukum yang disusun dengan benar akan melindungi perusahaan dari gugatan balik dan memberikan kepastian hukum bagi pekerja.
Advokat & Praktisi Ketenagakerjaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar