Pada dasarnya, upah merupakan hak yang melekat pada pekerja/buruh sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Oleh karena itu, upah harus dibayar tepat waktu dan tidak boleh ditunda atau dihilangkan tanpa alasan yang sah. Namun, dalam praktiknya, seringkali terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan tidak mampu membayar upah pekerja/buruh secara penuh. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan kerugian bagi pekerja/buruh yang telah bekerja keras untuk mendapatkan upahnya.
Dalam kasus pailit atau likuidasi perusahaan, pembayaran upah pekerja/buruh seringkali menjadi permasalahan yang kompleks. Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya dalam kasus pailit atau likuidasi perusahaan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci apakah pembayaran upah tersebut didahulukan atas semua jenis kreditur atau hanya pada kreditur tertentu.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014, memutuskan bahwa pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang harus didahulukan atas semua jenis kreditur, termasuk kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh yang merupakan pihak yang paling rentan dalam kasus pailit atau likuidasi perusahaan.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya, seperti tunjangan, bonus, dan pesangon, juga harus didahulukan atas semua jenis kreditur kecuali kreditur separatis. Hal ini sejalan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dalam kasus pailit atau likuidasi perusahaan. Pekerja/buruh tidak perlu lagi khawatir bahwa upah dan hak-hak mereka akan diabaikan dalam proses pembayaran utang perusahaan. Sebaliknya, mereka dapat memperoleh perlindungan hukum yang adil dan merata seperti halnya kreditur lainnya.
Di samping itu, putusan ini juga memberikan dampak positif bagi dunia usaha. Dengan didahulkannya pembayaran upah pekerja/buruh atas semua jenis kreditur, perusahaan akan lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan dan memperhatikan hak-hak pekerja/buruh. Hal ini dapat mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dan pekerja/buruh, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan bersama.
Dalam rangka mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi ini, perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antara pihak-pihak terkait, yaitu perusahaan, pekerja/buruh, dan lembaga yang berwenang dalam proses pailit atau likuidasi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga diharapkan untuk mematuhi ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama mengenai pembayaran upah dan hak-hak pekerja/buruh.
Dengan demikian, pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang harus didahulukan atas semua jenis kreditur merupakan langkah yang penting dalam mewujudkan keadilan dan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam kasus pailit atau likuidasi perusahaan. Selain itu, hal ini juga dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Mary Herman,
Advokat/Praktisi Ketenagakerjaan
Sumber:
https://www.bphn.go.id/data/documents/67_puu_2013-uu-ketenagakerjaan-telahucap-11sept2014-_wmactio.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar